Tak terasa, sudah lima bulan saya berada di Myanmar. Ternyata, negara ini gak jelek-jelek banget. Bahkan, sebenarnya, lebih bagus dari yang saya duga. Di negara kita (demikian juga negara lain), berita tentang Myanmar sangat sedikit. Kalaupun ada, pasti tentang Aung San Suu Kyi. Tidak banyak sisi lain Myanmar yang dibahas. Begitu tiba di Myanmar, dan melihat sendiri negara ini, ternyata Myanmar sangat indah. Kesan pertama yang saya dapatkan adalah betapa tingginya cita rasa seni bangsa ini. Tiba di Yangon bagaikan tiba Yogya atau Bali (saya belum pernah ke Bali. He…he…). Banyak ukiran, kaligrafi, relief, di berbagai pagoda ataupun wihara.
Penduduk Myanmar cuma 50 juta, sementara wilayahnya hampir 2 kali Bangladesh. (Ini berdasarkan pengamatan sekilas di peta, lho. Maklum, saya malas lihat data statistik). Sementara, penduduk Bangladesh 150 juta. (Jumlah penduduk dan luas Bangladesh nyaris sama dengan jumlah penduduk dan luas pulau Jawa). Jadi, di Myanmar ini benar-benar terkesan lebih sunyi. Padahal, wilayah Yangon dan Delta Ayeyarwaddy (keduanya terkena topan Nargis 2008), adalah wilayah terpadat sekaligus paling subur di Myanmar.
Jadi, di wilayah utara Myanmar (yang umumnya kering, berbukit, dan susah dijangkau), penduduknya lebih sedikit lagi. Wilayah utara tersebut berbatasan dengan Cina, India, dan Laos. Penduduk di wilayah itu mirip orang Cina. Sayangnya, wilayah tersebut tidak boleh dimasuki oleh orang asing. Soalnya, hampir semua kabupaten di wilayah utara punya gerakan pemberontak masing-masing. Bahkan, tentara Myanmarpun tidak sanggup masuk ke sana. Jadi, belakangan ini, Angkatan Bersenjata Myanmar mengangkat gerakan pemberontak sebagai anggota pasukan mereka, supaya mereka tidak memberontak lagi. Singkat kata: Myanmar ini memang kompleks permasalahannya. Yang selama ini kita ketahui hanyalah berita bahwa rezim militernya otoriter. Padahal, mereka inipun gak sanggup melawan gerakan pemberontak di wilayah utara. He…he..
Tentang Yangon, kota ini penduduknya cuma 4 juta. Luas wilayah lebih kecil dibanding Jakarta. Tapi, suasananya memang lebih lengang dibanding Jakarta. Bagusnya lagi, sepeda motor dilarang di Yangon.
Jadi, yang ada hanya mobil. Lalu lintasnyapun gak padat. Kata orang KBRI, baru dua tahun belakangan di Yangon ini ada macet. Itupun macetnya hanya di titik tertentu, setiap pagi (pergi kerja) dan sore (pulang kerja). Istilah Jakarta, kemacetannya masih pada level “padat merayap”. Yang jelas, di Yangon tidak ada jalan layang. Kalau nanti negara ini sudah terbuka ke dunia luar, dan mobil makin banyak, maka lalu lintas mereka akan sangat bermasalah.
Lalu lintas di Myanmar pakai sistem Amerika (mobil jalan di kanan), kebalikan dari sistem Indonesia. Tapi, karena mobil di Myanmar banyak buatan Jepang, maka setirnya ala Indonesia. Jadi, lalu lintasnya agak aneh. Tapi, sejauh ini, lalu lintasnya masih sangat teratur. Hebatnya lagi, bis kota hanya berhenti di halte bis. Kita tidak bisa seenaknya menyetop bis.
Yangon ternyata punya cukup banyak hotel yang sangat mewah. Beberapa bahkan keterlaluan mewahnya. Coba lihat Kandawgi Palace. Hotel itu hampir semua bahannya terbuat dari kayu jati. Coba pula lihat The Governor Residence. Hotel ini bekas rumah peristirahatan salah satu gubernur di Myanmar saat zaman Inggris tempo hari. Dibangun tahun 1920-an. Kamar termurah: “hanya” Rp 1,5 juta per hari (USD 150)
Atau, coba hotel yang satu ini; Strand Hotel. Kamarnya lebih murah, harga per malamnya dibaderol sebesar Rp. 5 juta rupiah/hari (USD 500). He…he…
Selain hotel mewah, banyak juga restoran mahal, seperti layaknya deretan restoran dibilangan area Kemang, Jakarta. Saya juga heran; Koq, bisa banyak hotel anda restoran semewah itu di Yangon?. Bahkan, salah satu restoran termewah di Yangon adalah restoran Indonesia. Namanya, Manis, yang dikelola dan dimiliki oleh orang Singapura.
Yang jelas, di Yangon ini masih banyak sekali bangunan tua bergaya bangunan jaman kolonial. Saya paling suka melihat bangunan rumah tua di Yangon. Biasanya, rumah itu berlantai dua dimana lantai bawahnya terbuat dari semen, sementara lantai atas terbuat dari kayu jati (warna hitam, karena dilumuri pelumas, supaya gak kena rayap), mirip rumah arsitektur bergaya khas di Thailand. Benar-benar elegan.
Pasar pusat Yangon juga buatan Inggris. Scott Market, namanya. Pasarnya benar-benar bagus, teratur, rapi —lebih rapi dibanding pasar Chatucak (Bangkok), cuma lebih kecil. Kerapiannya hampir sama dengan Central Market di Budapest (Hongaria). Cuma, Scott Market memang sudah tua. Umurnya, sudah hampir seratus tahun.
Yang menarik, di Yangon ini juga banyak lapangan golf. Kata orang KBRI, minimal ada 8 lapangan golf. Tarifnya juga sangat murah, minimal 50.000 rupiah sekali main, 18 hole. Jadi, lapangan golf di sini tergolong sangat ramai, banyak yang main. Itu cerita yg saya dengar dari orang KBRI. Mereka jadi ketagihan main golf. Kalau orang Myanmar, rata-rata pegawai negeri berjabatan agak tinggi yang main. Tapi, lagi-lagi, informasi ini membuat saya terkesima. Siapa sangka orang Myanmar banyak yang gemar main golf?
Myanmar juga terkenal akan kayu jatinya. Jadi, bangku/mebel di Myanmar ini memang sangat kokoh. Bangku di kedai/warung pun sangat kokoh, mengkilat. Bahkan, di Myanmar ini, hampir semua rumah berlantai kayu, bagaikan di film Barat. Idul Fitri 2009 lalu saya berlebaran ke rumah salah seorang rekan yang juga Muslim. Dia orang Yangon asli, tinggal di Perumnas/rumah susun. Lantai rumahnya kayu. Rumahnya kecil, sempit, tapi lantainya sangat mewah.
Orang Myanmar rata-rata masih sangat jujur, lugu, dan menghormati atasan/orang yg dituakan. Kalau lagi jalan bersama, pas mau masuk ruangan kantor, maka bawahan harus menunggu atasan untuk masuk ruangan tersebut. Kalau atasan sudah masuk, maka bawahan akan mengikuti. Demikian juga kalau mau naik mobil – sang atasan naik dulu, baru bawahan mengikuti. Staf saya masih seperti itu, padahal mereka lebih tua dari saya. Bahkan, kalau di kampung, kalau mau makan, yang muda harus menunggu orang yang lebih tua hingga selesai makan. Supir taksinyapun masih jujur. Teman kantor pernah ketinggalan HP di taxi. Tidak berapa lama kemudian, HP-nya diantarkan ke hotel tempat dia menginap. Padahal taxinya jelek-jelek..
Begitulah sekilas cerita tentang Yangon dan Myanmar. So far so good in Myanmar.
All quiet on the Western Front.
No comments:
Post a Comment